AMO
(oleh Ashfi Raihan)
Ini adalah sudut hidupku yang kurasa kelam. Tak ada seorang pun yang mau
mengerti diriku, kehidupanku, dan masalahku. Tak ada. Untuk apa mereka peduli
denganku. Toh, takkan mendatangkan uang untuk mereka jikalau
peduli denganku. Bahkan, bila mereka peduli denganku, itu malah membuat rugi.
Karena mereka harus membayar kepedulian mereka.
Memang inilah peranku dalam drama jagad fana ini. Bukan dari golongan atas
yang bisa dengan bersantai dan berpuas diri dengan harta mereka. Aku hanya bak
debu jalanan, yang mengganggu disetiap helaan nafas manusia. Seperti sampah
yang mengotori kota, dan harus segera disingkirkan.
“Amo, ngapain kau bengong disitu? Ayo jalan sana. Kawan-kawan kau sudah
pada jalan itu.”
Suara Bang Togar membuyarkan lamunanku.
“Iya, Bang.”
Amo adalah namaku. Pemberian teman-teman disini. Sehari-hari, pekerjaanku
hanyalah mengamen dibeberapa jalan protokol dan lampu merah di Jakarta. Ya,
kota metropolitan dengan hiruk pikuknya yang memusingkan.
Bila tak nekat, tak dapat makan. Itulah slogan hidup yang selalu kudengar
dari BangTogar dan teman-teman ngamenku lainnya.
Jakarta itu kejam. Itu kata orang. Menurutku, ia lebih lagi. Jakarta itu,
bagaikan sebuah kandang berisi beratus-ratus harimau lapar, dan hanya ada
beberapa domba. Siapa cepat dan kuat bertarung, ia yang dapat makan. Tapi, yang
dapat makan pun, juga harus siap bila suatu saat harus dimakan harimau yang
lainnya.
Aku yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu ditendang sekarang ku
disayang...
“Makasih, Om.”
Hidupku, hanyalah seorang pengamen, pulang malam, selalu bawa uang
recehan...
“Makasih, Pak.”
Seperti itulah sepotong lagu, dan kata yang selalu keluar dari mulutku tiap
kali mendapat uang dari para sopir-sopir dermawan itu. Berbekal gitar mungil
yang kudapat turun-temurun dari para pendahuluku di dunia mengamen, aku
mengumpulkan tiap keping uang logam. Bukan untukku sepenuhnya. Aku harus setor
uang hasil ngamen itu kepada Bang Togar, sebagai bos pengamen dan pengemis,
baru setelah itu aku mendapat bagian beberapa ribu dari hasil ngamenku itu dan
kuberikan pada Emak. Ya, dialah satu-satunya keluarga yang kupunya di Jakarta
ini. Selain adikku yang sedang bersekolah di Semarang tentunya.
“Lu dapet berapa, Mo?” Otoy menghampiri dengan memicingkan mata. Maklum, Jakartadisiang hari
panasnya memang sangat menyengat.
“Sekitar 20-an. Elu dapet berape?”
“Tau ni, lagi sepi, kayaknya cuman 10.”
Suka duka pengamen jalanan memang seperti ini. Kadang hasil banyak, kadang
malah gak dapet sama sekali. Tapi kalau itu sampek terjadi, siap-siap gak dapet
jatah dari Bang Togar.
“Kagak ape-ape, ini pan baru jam 12. Nanti gua bantuin dah.”
“Serius, Mo?” Mukanya mulai girang mendengar aku akan
membantunya mendapatkan hasil yang lebih banyak.
“Iye. Dah sono, elu ngamen lagi.”
“Iye Mo, makasih ye.”
Aku seneng bisa bantu Otoy. Dia dari dulu memang tak begitu percaya diri
kalau harus menyanyi didepan banyak orang. Cuman karena himpitan ekonomi yang
memaksanya buat ngubur dalam-dalam rasa mindernya itu.
***
Pagiiniadajadwalbelajar
di rumahsinggah “JAYA”. Ya, sejakbeberapabulanlalu, para
aktifismahasiswadaribeberapauniversitas di sekitar Jakarta,
menggalangsolidaritasuntukmendirikanrumahsinggah. Tujuannyatentu kami-kami ini
para anakjalanan. Merekamengajarmembaca, menulis, danberhitung.
Kadangkalamerekajugamengajak kami menonton film kartundarisebuahlayarproyektor.
Semuaterasamenyenangkan disela-sela
pekerjaan kami.
Awalnya Bang Togar, bos ngamenku dan beberapa kawan disini, tidak mengizinkan
kami ikut menjadi bagian dari rumah singgah. Tapi, karena kami mengancam akan
melaporkan mereka ke kantor polisi, akhirnya Bang Togar pasrah dengan kami.
Setiap hari Senin dan Kamis, kami diberi izin libur mengamen. 2 hari itu sudah
sangat cukup sekali bagiku, sebenarnya. Mengingat, dari pekerjaan inilah aku
dapat uang untuk makan sehari-hari.
Saat ini adalah sesi motivasi. Bagian ini yang paling tidak menarik bagiku.
Karena, toh kalau kita tak mau berusaha, sebuah kata motivasi hanya akan jadi
angin yang mampir sebentar. Tak akan berbuah hasil bila hanya terus
didengungkan tanpa tindakan.
“Kalo gue nih, mau jadi pilot. Bisa nerbangin pesawat. Bisa ngajak emak
abah gue jalan-jalan sampek ke bulan.” Ucok berkata dengan lantang. Usianya
hampir sama denganku. Tapi, dia sudah sangat mahir dalam mengendarai kendaraan,
entah motor, mobil, bahkan baru-baru ini, ia berhasil belajar mengendarai truk.
Semua yang ada sontak tertawa mendengar pernyataan Ucok.
“He, emang pesawat bisa nyampek ke bulan? Dasar tukang ngayal.”
Oji yang paling keras menyuarakan pendapat atas cita-cita Ucok.
Dalam hati, Amo sebenarnya juga kerap kali berkata dengan lantang tentang
cita-citanya. Tapi, untuk apa punya cita-cita? Toh, hidupnya masih
begini-begini sajaa. Ia masih mengamen. Penghasilan dibagi dengan bos preman.
Belum lagi kalau kena ciduk SatPol PP. Masalahnya justru tak pernah selesai
hanya dengan ia punya cita-cita.
Dulu, di lingkungan kelurahannya, ia pernah mendengar ada orang sedang
berdemo atau apalah itu namanya. Orang itu berbicara didepan podium. Orang itu
berkata bahwa anak-anak terlantar diasuh oleh negara, unit kecilnya ada
kelurahan, dan orang itu akan memfasilitasi untuk perealisaian hal tersebut.
Bah, apa bukti nyatanya sekarang? Dia melenggang ke kantor kelurahan
sedangkan kami anak jalanan miskin, masih saja terlantar.
“Amo, besok ikut Kakak bisa?”
Kak Ratna menghampiri Amo yang sedang serius menulis esai tentang
cita-cita.
“Kemana, Kak?”
“Ke museum Fatahillah. Kan kamu pengen banget belajar sejarah disana.
Jangan lupa bilang ke Emak, ya. minta izin.”
“Bang Togar?” Tanpa pikir panjang, aku menanyakan perihal Bang Togar. Ya, Bang
Togar adalah penguasa bagiku. Kalau dia bilang tidak, berarti tidak ada kata
lain, selain menurut.
“Udah tenang aja. Itu urusan kakak. Mau, kan?”
Aku hanya dapat mengangguk, tapi masih sangsi.
“Sip. Kalo gitu, sana belajar lagi.”
Kak Ratna pergi dengan senyum puas.
***
Kelas berakhir pukul 11 siang. Berarti masih ada kesempatan yang panjang
buat ngamen. Hari ini memang seedikit beda. Karena kakak-kakak itu hanya
mengajar setengah hari biasanya sampai agak siang atau sore.
***
Pukul 17.00 WIB.
“Baru pulang, Mo?”
“Iya, Mak.”
“Yaudah cepet mandi sono. Habis itu, elu makan dah. Hari ini Emak masak
makanan kesukaanelu Mo. Semur jengkol,” kata Emak begitu girang dan bangganya
bisa memasakkan makanan kesukaanku.
“Lagi banyak duit ye, Mak?”
“Kagakjuga. Hari ini, cucian lagi banyak. Jadi Emak bisa
nyisihin sedikit buat beli jengkol. Udah sono cepetan mandi.”
Emak, Emak. Amo ngrasa jadi orang paling beruntung di dunia ini karena ada
Emak. Meskipun kondisi kesusahan, beliau nggak pernah mau ngeluh.
Emak hanya seorang buruh cuci. Bayarannya tidak seberapa, dan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan kami di Jakarta ini.
Emak tidak pernah melarangku untuk mengamen, tapi setiap sholat malam, Emak
selalu menangis karena tidak tega meihatku harus kerja banting tulang
membantunya.
“Mo, besok kan adek lu rapotan, trus kalau nilainya dia bagus-bagus gimana, Mo?”
“Kalau nilainya bagus ya Alhamdulillah, Mak.”
“Bukan itu Mo maksud Emak.”
“Trus?”
“Ya kan lu tau, adek lu selalu juara di kelas, dan selama dia juara, Emak
belum pernah sekalipunngasih dia hadiah. Emak kasihan, Mo. Askipernahcerita,
temen-temennya banyak yang dapet hadiah
meskipun cuman rangking 2 atau 3,” raut muka Emak sedikit merana dibawah temaram lampu teplok gubuk kami.
Memang dari dulu, Aski, adik perempuanku jauh lebih pintar dariku. Dia
selalu ranking satu semenjak kelas 1. Dan ini calon tahun ketiganya untuk
meraih juara kelas lagi.
“Gimana ye, Mak? Amo juga bingung. Emangnya Aski kapan
Mak pulang dari asrama?”
“Besok, Mo. Besok Mak mau jemput dia di stasiun. Lu
mau ikut?”
“Eh, nggak deh, Mak. Amo sibuk. Hehehe.”
“Et dah. Gaya-gayaan lu pake sibuk segala,” Emak mengulum senyum mendengar
candaku.
“Mak, besok Amo usahain deh, buat beli hadiah buat adek.”
“Ah, kagak usah, Mo. Biar Mak aja yang beliin. Kasihan elu. Duitnya
lu simpen aje. Lu kan udah kerja keras bantuin Emak dari bapak lu kagak ada
dulu. Nanti kalau lu dapet uang, lu tabung baek-baek ye. Kagak usah dikasih
Emak. Lagian, sekarang kan adek lu udah dapet beasiswa penuh sampek SMA dari
sekolahnya, tinggal di asrama gratis pula, jadi lu kagak usah mikirin lagi buat
bantu Emak. Duit ngamen itu, lu tabung buat nanti kalau lu pengen nerusin
sekolah lagi.”
Aku terenyuh mendengar kata-kata Emak. Tanpa kusadari, aku meneteskan air
mata.
“Amo sayang sama Emak,” kataku menghampiri dan memeluknya.
Emak tak kuasa berkata-kata. Tangisnya pecah, dan beliau hanya mengusap
kepalaku dengan penuh sayang.
Dalam dekapan hangat Emak, aku urungkan niatku untuk memberitahunya perihal
ajakan Kak Ratna.
***
Siang ini, aku bertekad mencari uang yang banyak buat Emak sama Aski yang
mau pulang. Pokoknya harus dapet banyak hari ini.
Sebenarnya sayang juga harus bekerja di hari ini. Tawaran pergi bersama Kak
Ratna terlalu menggiurkan sebenarnya. Ah, tapi sudahlah.
“Amo!”
“Eh, Kak Ratna. Ngapain disini, Kak?”
“Kamu ini, kan kita udah janjian mau pergi hari ini. Lupa, ya?”
“Eh, nggak kok, Kak. Cuman, Amo hari ini mau nyari uang lebih buat beli
hadiah. Aski mau pulang, Kak.”
Kak Ratna mengangguk-angguk mengerti.
“Oh, gitu. Tapi, kamu kan bisa dateng dulu ke rumah singgah. Kasih kabar.
Kak Ratna sampek nyari dirumah tadi.”
“Eh, ma’af, Kak.”
Siang itu Kak Ratna dengan sukarela berpanas-panas ria demi membantuku
mengamen. Dia memang salah satu kakak yang paling kusuka. Selain orangnya
sangat ramah, ia juga pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan, tanpa merubah
karakternya sebagai gadis tegas dan pemberani.
Ah, Kak Ratna, semoga dimasa depan, Aski bisa jadi orang seperti kakak.
Hari ini kuputuskan buat menjelajah sebanyak mungkin lampu merah. Kak Ratna
dengan lagkah cekatan, menjajariku saat kendaraan sudah mulai berhenti.
Suaranya cukup bagus juga ternyata.
Aku hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkah Kak Ratna. Ia seperti
menemukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
***
“Semangat amat Mo ngamennya.”
“Iya, Toy. Hari ini Aski pulang dari sekolahnya di Semarang. Emak gue nanti
mau jemput dia ke stasiun. Gue mau nyarii uang yang banyak buat ngasih dia
hadiah,” kataku sumringah.
Kak Ratna sedang membeli minuman pada tukang asongan yang biasa mengasong
di perempatan lampu merah ini. Ia tersenyum mendengar perkataanku pada Otoy.
“Ceileh. Okedeh, nanti gue bantuin. Adek lu kan udah gua anggep kayak adek
gue sendiri.”
“Thank you, Toy. Lu emang sahabat terbaik gue,” Aku terharu mendengar
kata-kata Otoy.
Tak lama kemudian, aku melanjutkan ngamen. Sedangkan Kak Ratna, ia
tiba-tiba harus kembali ke kampus karena ada tugas.
Jadilah aku dan Otoy ngamen berdua. Dan tak lama kemudian Otoy memustuskan
untuk mengamen ke perempatan lampu merah yang lain, untuk mendapatkan hasil
yang lebih banyak.
“Mo, gue kesana dulu. Baek-baek lo disini. Semoga dapet duit yang banyak.”
“Aamiin.”
Aku segera merapat kearah mobil yang sedang berhenti karena lampu jalan
sudah agak lama menyala merah.
Sekolah aku tak punya biaya...
“Makasih, Om.”
Aku yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu...
Aku berusaha menepi saat tiba-tiba lampu berubah hijau dan kendaraan mulai
merayap, bahkan sudah memacu kendaraan mereka begitu kencang.
Ciitt...
Sedan hitam itu melaju sangat cepat padahal aku sudah dipinggir jalan.
Sesaat kemudian aku mendengar teriakan Emak.
Ciiittt...Brakk...
“Amoooo.........!!!!!”
0 komentar:
Posting Komentar